Minggu, 28 Juni 2009

PILIH SBY, UNTUK KEMISKINAN BERKELANJUTAN

"Anggaran negara yang kurang dan gaji aparat yang minim", kalimat klasik ini selalu saja menjadi alasan atau pembenaran pemerintah untuk menjawab keburukan dalam mengelola negara tanpa berusaha sungguh-sungguh untuk mencari solusinya. Keburukan di bidang pertahanan, alutsista, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan rakyat, infrastruktur, transportasi, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, kebobrokan aparat kejaksaan, hakim, kepolisian, dirjen pajak, dirjen bea cukai dan sebagainya seakan harus dimaklumi rakyat hanya dengan mengucapkan kalimat klasik ini. Kalau terus-menerus begini, sampai kapan masalah-masalah tersebut teratasi???
Capres SBY tidak mempunyai kiat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang inti penyebabnya adalah kurangnya anggaran ini kecuali hanya mengharapkan sumber pembiayaan asing dengan berhutang, berhutang dan berhutang lagi, terus menerus berhutang sehingga dalam masa pemerintahannya hutang bertambah 464 triliun rupiah atau rata-rata 100 triliun rupiah per tahun, belum lagi dengan syarat-syarat yang pahit bagi perekonomian rakyat juga melekat pada pemberian hutang-hutang itu. Syarat-syarat ini tentunya juga menjadi sumber masalah baru yang melumpuhkan ekonomi kita. Disamping terus-menerus berhutang, SBY juga terus-menerus membayar cicilan hutang-hutangnya berikut bunganya yang sudah jatuh tempo agar julukan "anak manis" tidak lepas, kata orang betawi gali lobang tutup lobang.
Sangat berbeda dengan Cawapres Prabowo, agar anggaran negara tidak terus-menerus terlalu terbebani oleh pembayaran hutang, dengan tegas Prabowo mengatakan Indonesia harus meminta penjadwalan ulang hutang-hutangnya dan penghapusan hutang-hutang najis. Tidak masalah jika kemudian julukan "anak manis" terlepas, terlalau mahal biaya dan penderitaan yang ditanggung rakyat hanya untuk mempertahankan gengsi dijuluki "anak manis".
Dengan berkurangnya beban hutang, otomatis anggaran negara bisa digunakan untuk banyak hal yang jauh lebih bermanfaat, pembangunan jauh lebih pesat, terjadi perubahan besar-besar ke arah yang positif dalam setiap sisi kehidupan kita. Pembangunan ini sedapat mungkin harus memanfaatkan sumber pembiayaan mandiri dan tenaga dari bangsa sendiri. Pembangunan dengan sumber daya mandiri menurut Capres Jusuf Kalla bisa sangat menghemat anggaran tanpa mengorbankan kualitas, sambil memberi kesempatan bagi pemuda-pemudi bangsa sendiri untuk berprestasi.
Pembangunan besar-besaran yang bisa dilakukan ketika kita tidak terbebani pembayaran hutang antara lain pembangunan infrastruktur, jalan, irigasi, listrik, pelabuhan dsb, dibangun untuk menimbulkan efek positif yang berlipat-lipat ganda pada ekonomi rakyat. Penanaman besar-besaran 59 juta hektar hutan yang telah rusak dengan tanaman produktif yang bisa menyerap puluhan juta tenaga kerja. Pembangunan sektor pendidikan bisa meningkat pesat dan gizi anak-anak bisa tercukupi untuk tumbuh menjadi anak-anak cerdas sehingga di masa depan tidak lagi mengekspor TKI dan TKW tetapi mengekspor pemuda-pemudi tenaga-tenaga ahli berotak cemerlang. Juga pesatnya pembangunan pertanian, perikanan dan peternakan, produk-produk pertanian dan peternakan yang selama ini kita impor akan bisa kita penuhi sendiri. Pembangunan juga bisa semakin merata sehingga memberikan efek positif bagi penduduk desa dan kota, kota tidak terlalu padat dan permasalahan yang dialami perkotaan seperti kriminalitas, anak jalanan, pengemis, pelacuran, polusi, keruwetan dan kemacetan lalu-lintas dsb. bisa berkurang drastis.
Bersamaan dengan itu, Cawapres Prabowo juga menegaskan pentingnya dibuat aturan "penguncian devisa" agar devisa hasil ekspor tidak lari ke luar negeri. "Penguncian devisa" ini sangat-sangat penting dan berpengaruh sangat positif bagi pendanaan pembangunan nasional. Selama ini di Republik "Super Liberal" Indonesia tidak ada aturan seperti ini, jadi pengusaha pelaku ekspor dengan sangat bebas melarikan devisanya ke luar negeri, karena bebasnya lalu-lintas devisa ini republik ini sangat merugi dan mengalami pendarahan sangat parah. Devisa hasil ekspor jumlahnya sangat besar, sejak 11 tahun lalu, Indonesia yang selalu surplus seharusnya memperoleh devisa rata-rata sebesar 27 miliar dollar AS atau sekitar 297 miliar dollar AS dalam 11 tahun namun karena tidak adanya aturan "penguncian devisa", devisa tersebut tidak bisa dimanfaatkan untuk pembangunan. Bisa dibayangkan bila kita bisa mengunci devisa ini, devisa bisa banyak dimanfaatkan untuk pembangunan dan berkontribusi sangat positif terhadap angka pertumbuhan, yang menurut Prabowo bisa mencapai 2 digit (bandingkan dengan perkiraan pertumbahan gaya neolib SBY yang hanya 7 persen).
Akhirnya, pilihan ada pada kita masing-masing, pilih SBY kalau mau kemiskinan berkelanjutan, ekonomi tetap mandeg, jalan di tempat, ekonomi rakyat semakin tersungkur, tersingkir oleh kekuatan penjajahan ekonomi asing dan rakyat semakin tersangkar oleh sangkar kemiskinan dan kebodohan atau pilih yang lain untuk ekonomi yang lebih maju dan untuk rakyat yang lebih sejahtera.