Tulisan ini terinspirasi dari ketakberdayaan sebuah warung di suatu pemukiman di Jakarta yang akhirnya bangkrut dan tutup setelah sekian lama sekarat karena tergilas oleh menjamurnya pasar swalayan besar yang mengepung pemukiman dan pasar-pasar tradisional, hypermarket yang menawarkan kenyamanan, kelengkapan dan harga yang murah.
Dengan perasaan sangat sedih, seorang bapak tua berusia enam puluhan tahun akhirnya berketetapan hati untuk mengakhiri usaha warungnya walaupun tak jelas apa yang akan dia kerjakan setelahnya. Bapak tua yang biasa dipanggil Pak Syukur ini, memulai usaha warungnya sekitar dua puluh lima tahun yang lalu dengan modal seadanya. Momen penutupan warung ini baginya memang suatu momen yang sangat emosional karena warungnya meninggalkan begitu banyak kenangan bagi dirinya, kenangan suka dan duka, saat jatuh dan bangun, tak heran wajahnya terlihat memerah dan matanya berkaca-kaca, apalagi bercampur dengan perasaan putus asa akan masa depan nasib dirinya dan keluarganya.
Memang sejak berapa tahun lalu warung Pak Syukur terlihat sekarat -hidup segan mati tak mau. Barang yang dijual semakin lama semakin berkurang karena modalnya banyak yang terpakai untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya sehari-hari. Bermula ketika sebuah jaringan hypermarket raksasa milik Perancis, Carrefour, membuka hypermarket yang lokasinya sangat mudah dijangkau oleh warga di sekitar warung Pak Syukur, cukup dengan sekali naik angkot. Warga sekitar yang semula banyak berbelanja di warungnya menjadi berkurang drastis karena beralih ke hypermarket tersebut.
Keadaan ini sangat mengancam ekonomi keluarga Pak Syukur yang hanya menggantungkan hidup dari usaha warungnya. Keterpurukan ini berlanjut terus hingga tiba ajal warungnya, warungnya tutup. Kalau ditelusur lebih lanjut, akibat kesulitan ekonomi Pak Syukur mengakibatkan daya beli Pak Syukur dan keluarganya juga menurun, efek menurunnya daya beli Pak Syukur akhirnya juga berimbas ke pelaku ekonomi dan pedagang lainnya dimana Pak Syukur dan keluarganya biasa membelanjakan uangnya seperti pedagang sayur, pedagang pakaian dan sebagainya. Singkatnya, keterpurukan warung Pak Syukur juga mengakibatkan perlambatan perputaran uang. Bayangkan bila banyak Pak Syukur-Pak Syukur, pelaku usaha warung dan pelaku usaha lain yang mengalami hal serupa, terhambatnya perputaran uang juga semakin dahsyat, uang semakin sulit diperoleh rakyat kecil. Lalu kemana larinya uang atau modal yang biasa beredar di sekitar Pak Syukur? diantaranya lari ke Perancis, dan ke negara-negara lain, disedot pompa jet super penghisap rupiah bernama "Carrefour", "Hypermart", "Giants" dan sebagainya.
Pak Syukur dengan warungnya, hanya satu contoh dari sekian banyak korban neolib di Indonesia, negara yang sangat liberal, lebih liberal dan lebih kapitalis daripada di negara asalnya neolib. Di negara-negara maju yang terkenal liberal-kapitalis, pemerintahnya masih sangat memperhatikan pelaku ekonomi bermodal kecil semacam Pak Syukur, bahkan Carrefour di negeri asalnya sendiri, Perancis, dengan aturan sangat ketat tidak diperbolehkan buka di tengah kota karena bisa mengancam kelangsungan pelaku usaha retail skala kecil yang menjual produk-produk sejenis.
Sangat berbeda dengan di Perancis, di Indonesia -negara super liberal- di lokasi manapun Carrefour boleh buka, bebas sebebas-bebasnya, tanpa hambatan apapun, menghisap rupiah tanpa ampun, mematikan usaha rakyat semacam Pak Syukur, kemudian uangnya dilarikan ke luar negeri dengan menyisakan sedikit untuk upah pegawainya