Bagi pendukung SBY yang kebetulan membaca tulisan ini, sebelumnya mohon maaf yang sebesar-besarnya, harap dibaca dengan kepala dingin dan hati lapang.
GAWAT DARURAT EKONOMI RAKYAT!!!...Separuh rakyat Indonesia miskin parah!!!...kita harus berjuang mati-matian untuk perubahan besar-besaran agar kemiskinan yang sangat mengancam kehidupan masa depan kita, masa depan bangsa dan negara dengan segala akibat buruknya tidak semakin parah, caranya dengan tidak memilih pasangan nomor 2, SBY-Boediono dan juga menyarankan kepada orang lain, teman, keluarga, tetangga dsb. untuk tidak memilih SBY-Boediono...gunakan semua jalur komunikasi yang ada seperti SMS, telepon, surat, internet dsb...ekonomi rakyat benar-benar dalam keadaan darurat...jangan sampai keadaan semakin parah dengan terpilihnya SBY-Boediono yang sangat pro Amerika Serikat, pro asing dan pro neolib kapitalis...selamatkan masa depan kita semua, selamatkan masa depan rakyat Indonesia...segera merdekakan Indonesia dari penjajahan ekonomi!!!
Rangkaian tulisan singkat dibawah ini bukan kampanye untuk salahsatu pasangan capres-cawapres, bukan pula kampanye hitam, tapi ditulis murni semata-mata hanya dilandasi oleh keinginan tulus yang sangat-sangat kuat menggelora untuk melihat negara dan bangsa yang alamnya sangat kaya raya ini menjadi negara yang setara dengan negara maju, negara yang bebas dari pengaruh kepentingan asing, negara yang memimpin dan berpengaruh di dunia internasional dengan bangsanya yang cerdas dan berbudi luhur, bangsa yang cinta dan bangga dengan negara, bangsa dan bahasanya sendiri, bangsa yang kuat dan makmur, bangsa yang maju dan mandiri, dihormati dan disegani oleh bangsa lain, tidak tertunduk-tunduk dan mudah menyerah dengan kepentingan asing...Sungguh senaaaaang sekali, bahagiaaaaa banget rasanya kalau cita-cita ini tercapai...sebaliknya menderita sekali kalau cita-cita ini tidak tercapai...karenanya kita tidak boleh salah pilih Calon Presiden dan Wapres...salah pilih berarti malapetaka.
GAWAT DARURAT, GAWAT DARURAT!!!
Minggu, 28 Juni 2009
PILIH SBY, UNTUK KEMISKINAN BERKELANJUTAN
"Anggaran negara yang kurang dan gaji aparat yang minim", kalimat klasik ini selalu saja menjadi alasan atau pembenaran pemerintah untuk menjawab keburukan dalam mengelola negara tanpa berusaha sungguh-sungguh untuk mencari solusinya. Keburukan di bidang pertahanan, alutsista, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan rakyat, infrastruktur, transportasi, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, kebobrokan aparat kejaksaan, hakim, kepolisian, dirjen pajak, dirjen bea cukai dan sebagainya seakan harus dimaklumi rakyat hanya dengan mengucapkan kalimat klasik ini. Kalau terus-menerus begini, sampai kapan masalah-masalah tersebut teratasi???
Capres SBY tidak mempunyai kiat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang inti penyebabnya adalah kurangnya anggaran ini kecuali hanya mengharapkan sumber pembiayaan asing dengan berhutang, berhutang dan berhutang lagi, terus menerus berhutang sehingga dalam masa pemerintahannya hutang bertambah 464 triliun rupiah atau rata-rata 100 triliun rupiah per tahun, belum lagi dengan syarat-syarat yang pahit bagi perekonomian rakyat juga melekat pada pemberian hutang-hutang itu. Syarat-syarat ini tentunya juga menjadi sumber masalah baru yang melumpuhkan ekonomi kita. Disamping terus-menerus berhutang, SBY juga terus-menerus membayar cicilan hutang-hutangnya berikut bunganya yang sudah jatuh tempo agar julukan "anak manis" tidak lepas, kata orang betawi gali lobang tutup lobang.
Sangat berbeda dengan Cawapres Prabowo, agar anggaran negara tidak terus-menerus terlalu terbebani oleh pembayaran hutang, dengan tegas Prabowo mengatakan Indonesia harus meminta penjadwalan ulang hutang-hutangnya dan penghapusan hutang-hutang najis. Tidak masalah jika kemudian julukan "anak manis" terlepas, terlalau mahal biaya dan penderitaan yang ditanggung rakyat hanya untuk mempertahankan gengsi dijuluki "anak manis".
Dengan berkurangnya beban hutang, otomatis anggaran negara bisa digunakan untuk banyak hal yang jauh lebih bermanfaat, pembangunan jauh lebih pesat, terjadi perubahan besar-besar ke arah yang positif dalam setiap sisi kehidupan kita. Pembangunan ini sedapat mungkin harus memanfaatkan sumber pembiayaan mandiri dan tenaga dari bangsa sendiri. Pembangunan dengan sumber daya mandiri menurut Capres Jusuf Kalla bisa sangat menghemat anggaran tanpa mengorbankan kualitas, sambil memberi kesempatan bagi pemuda-pemudi bangsa sendiri untuk berprestasi.
Pembangunan besar-besaran yang bisa dilakukan ketika kita tidak terbebani pembayaran hutang antara lain pembangunan infrastruktur, jalan, irigasi, listrik, pelabuhan dsb, dibangun untuk menimbulkan efek positif yang berlipat-lipat ganda pada ekonomi rakyat. Penanaman besar-besaran 59 juta hektar hutan yang telah rusak dengan tanaman produktif yang bisa menyerap puluhan juta tenaga kerja. Pembangunan sektor pendidikan bisa meningkat pesat dan gizi anak-anak bisa tercukupi untuk tumbuh menjadi anak-anak cerdas sehingga di masa depan tidak lagi mengekspor TKI dan TKW tetapi mengekspor pemuda-pemudi tenaga-tenaga ahli berotak cemerlang. Juga pesatnya pembangunan pertanian, perikanan dan peternakan, produk-produk pertanian dan peternakan yang selama ini kita impor akan bisa kita penuhi sendiri. Pembangunan juga bisa semakin merata sehingga memberikan efek positif bagi penduduk desa dan kota, kota tidak terlalu padat dan permasalahan yang dialami perkotaan seperti kriminalitas, anak jalanan, pengemis, pelacuran, polusi, keruwetan dan kemacetan lalu-lintas dsb. bisa berkurang drastis.
Bersamaan dengan itu, Cawapres Prabowo juga menegaskan pentingnya dibuat aturan "penguncian devisa" agar devisa hasil ekspor tidak lari ke luar negeri. "Penguncian devisa" ini sangat-sangat penting dan berpengaruh sangat positif bagi pendanaan pembangunan nasional. Selama ini di Republik "Super Liberal" Indonesia tidak ada aturan seperti ini, jadi pengusaha pelaku ekspor dengan sangat bebas melarikan devisanya ke luar negeri, karena bebasnya lalu-lintas devisa ini republik ini sangat merugi dan mengalami pendarahan sangat parah. Devisa hasil ekspor jumlahnya sangat besar, sejak 11 tahun lalu, Indonesia yang selalu surplus seharusnya memperoleh devisa rata-rata sebesar 27 miliar dollar AS atau sekitar 297 miliar dollar AS dalam 11 tahun namun karena tidak adanya aturan "penguncian devisa", devisa tersebut tidak bisa dimanfaatkan untuk pembangunan. Bisa dibayangkan bila kita bisa mengunci devisa ini, devisa bisa banyak dimanfaatkan untuk pembangunan dan berkontribusi sangat positif terhadap angka pertumbuhan, yang menurut Prabowo bisa mencapai 2 digit (bandingkan dengan perkiraan pertumbahan gaya neolib SBY yang hanya 7 persen).
Akhirnya, pilihan ada pada kita masing-masing, pilih SBY kalau mau kemiskinan berkelanjutan, ekonomi tetap mandeg, jalan di tempat, ekonomi rakyat semakin tersungkur, tersingkir oleh kekuatan penjajahan ekonomi asing dan rakyat semakin tersangkar oleh sangkar kemiskinan dan kebodohan atau pilih yang lain untuk ekonomi yang lebih maju dan untuk rakyat yang lebih sejahtera.
Capres SBY tidak mempunyai kiat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang inti penyebabnya adalah kurangnya anggaran ini kecuali hanya mengharapkan sumber pembiayaan asing dengan berhutang, berhutang dan berhutang lagi, terus menerus berhutang sehingga dalam masa pemerintahannya hutang bertambah 464 triliun rupiah atau rata-rata 100 triliun rupiah per tahun, belum lagi dengan syarat-syarat yang pahit bagi perekonomian rakyat juga melekat pada pemberian hutang-hutang itu. Syarat-syarat ini tentunya juga menjadi sumber masalah baru yang melumpuhkan ekonomi kita. Disamping terus-menerus berhutang, SBY juga terus-menerus membayar cicilan hutang-hutangnya berikut bunganya yang sudah jatuh tempo agar julukan "anak manis" tidak lepas, kata orang betawi gali lobang tutup lobang.
Sangat berbeda dengan Cawapres Prabowo, agar anggaran negara tidak terus-menerus terlalu terbebani oleh pembayaran hutang, dengan tegas Prabowo mengatakan Indonesia harus meminta penjadwalan ulang hutang-hutangnya dan penghapusan hutang-hutang najis. Tidak masalah jika kemudian julukan "anak manis" terlepas, terlalau mahal biaya dan penderitaan yang ditanggung rakyat hanya untuk mempertahankan gengsi dijuluki "anak manis".
Dengan berkurangnya beban hutang, otomatis anggaran negara bisa digunakan untuk banyak hal yang jauh lebih bermanfaat, pembangunan jauh lebih pesat, terjadi perubahan besar-besar ke arah yang positif dalam setiap sisi kehidupan kita. Pembangunan ini sedapat mungkin harus memanfaatkan sumber pembiayaan mandiri dan tenaga dari bangsa sendiri. Pembangunan dengan sumber daya mandiri menurut Capres Jusuf Kalla bisa sangat menghemat anggaran tanpa mengorbankan kualitas, sambil memberi kesempatan bagi pemuda-pemudi bangsa sendiri untuk berprestasi.
Pembangunan besar-besaran yang bisa dilakukan ketika kita tidak terbebani pembayaran hutang antara lain pembangunan infrastruktur, jalan, irigasi, listrik, pelabuhan dsb, dibangun untuk menimbulkan efek positif yang berlipat-lipat ganda pada ekonomi rakyat. Penanaman besar-besaran 59 juta hektar hutan yang telah rusak dengan tanaman produktif yang bisa menyerap puluhan juta tenaga kerja. Pembangunan sektor pendidikan bisa meningkat pesat dan gizi anak-anak bisa tercukupi untuk tumbuh menjadi anak-anak cerdas sehingga di masa depan tidak lagi mengekspor TKI dan TKW tetapi mengekspor pemuda-pemudi tenaga-tenaga ahli berotak cemerlang. Juga pesatnya pembangunan pertanian, perikanan dan peternakan, produk-produk pertanian dan peternakan yang selama ini kita impor akan bisa kita penuhi sendiri. Pembangunan juga bisa semakin merata sehingga memberikan efek positif bagi penduduk desa dan kota, kota tidak terlalu padat dan permasalahan yang dialami perkotaan seperti kriminalitas, anak jalanan, pengemis, pelacuran, polusi, keruwetan dan kemacetan lalu-lintas dsb. bisa berkurang drastis.
Bersamaan dengan itu, Cawapres Prabowo juga menegaskan pentingnya dibuat aturan "penguncian devisa" agar devisa hasil ekspor tidak lari ke luar negeri. "Penguncian devisa" ini sangat-sangat penting dan berpengaruh sangat positif bagi pendanaan pembangunan nasional. Selama ini di Republik "Super Liberal" Indonesia tidak ada aturan seperti ini, jadi pengusaha pelaku ekspor dengan sangat bebas melarikan devisanya ke luar negeri, karena bebasnya lalu-lintas devisa ini republik ini sangat merugi dan mengalami pendarahan sangat parah. Devisa hasil ekspor jumlahnya sangat besar, sejak 11 tahun lalu, Indonesia yang selalu surplus seharusnya memperoleh devisa rata-rata sebesar 27 miliar dollar AS atau sekitar 297 miliar dollar AS dalam 11 tahun namun karena tidak adanya aturan "penguncian devisa", devisa tersebut tidak bisa dimanfaatkan untuk pembangunan. Bisa dibayangkan bila kita bisa mengunci devisa ini, devisa bisa banyak dimanfaatkan untuk pembangunan dan berkontribusi sangat positif terhadap angka pertumbuhan, yang menurut Prabowo bisa mencapai 2 digit (bandingkan dengan perkiraan pertumbahan gaya neolib SBY yang hanya 7 persen).
Akhirnya, pilihan ada pada kita masing-masing, pilih SBY kalau mau kemiskinan berkelanjutan, ekonomi tetap mandeg, jalan di tempat, ekonomi rakyat semakin tersungkur, tersingkir oleh kekuatan penjajahan ekonomi asing dan rakyat semakin tersangkar oleh sangkar kemiskinan dan kebodohan atau pilih yang lain untuk ekonomi yang lebih maju dan untuk rakyat yang lebih sejahtera.
SBY, ANTARA OMDO, PENCITRAAN DAN FAKTA
Sekitar 5 tahun lalu, saat kampanye Pilpres 2004 SBY berjanji akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di Indonesia, janji ini adalah salahsatu janji SBY yang paling lekat di memori rakyat dan membuat sebagian rakyat tertarik untuk memilihnya sebagai Presiden.
Ternyata setelah 5 tahun janji tersebut terbukti hanya omdo alias omong doang. Berturut-turut selama 5 tahun pemerintahan SBY, laporan tahunan BPK yang menyatakan "disclaimer" atau "tidak dapat dipertanggungjawabkan" untuk keuangan pemerintah pusat menguak fakta kebobrokan pengelolaan keuangan pemerintah pusat yang dipimpin Presiden SBY. Laporan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) ternyata juga menempatkan Indonesia masih sebagai negara terkorup di Asia.
Selama ini, melalui pencitraan yang diarsiteki antara lain oleh Malarangeng bersaudara, SBY dan pemerintahannya dikesankan seolah-olah bersih dan anti korupsi, seolah-olah satu kata dan perbuatan, atau seolah-olah clean government menurut SBY yang sangat gemar berbahasa Inggris. Demikan pula dengan iklan partai Demokrat pada kampanye Pileg dan iklan pasangan SBY-Boediono pada kampanye Pilpres, dikesankan seolah-olah pemerintah SBY sebagai pemerintah bersih, dalam iklan ini divisualkan orang-orang partai Demokrat seperti Edi Baskoro (anak SBY), Anas Urbaningrum dan Angelina Sondakh yang menolak korupsi. Dirjen Pajakpun tak mau ketinggalan, membuat iklan "apa kata dunia" yang juga mengesankan aparat pajak seolah-olah kini sudah bersih dari suap dan korupsi.
Ternyata masih sangat lebar jurang antara pencitraan dan kenyataan sebenarnya, sejauh bumi dan langit, banyak yang hanya "omong doang". Memang sekedar pencitraan saja tanpa didukung fakta pada akhirnya akan terkuak juga dengan telanjang. Rakyat tidak membutuhkan sekedar pencitraan tapi benar-benar membutuhkan kejujuran yang sejujur-jujurnya dalam mengungkap kenyataan.
Ternyata setelah 5 tahun janji tersebut terbukti hanya omdo alias omong doang. Berturut-turut selama 5 tahun pemerintahan SBY, laporan tahunan BPK yang menyatakan "disclaimer" atau "tidak dapat dipertanggungjawabkan" untuk keuangan pemerintah pusat menguak fakta kebobrokan pengelolaan keuangan pemerintah pusat yang dipimpin Presiden SBY. Laporan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) ternyata juga menempatkan Indonesia masih sebagai negara terkorup di Asia.
Selama ini, melalui pencitraan yang diarsiteki antara lain oleh Malarangeng bersaudara, SBY dan pemerintahannya dikesankan seolah-olah bersih dan anti korupsi, seolah-olah satu kata dan perbuatan, atau seolah-olah clean government menurut SBY yang sangat gemar berbahasa Inggris. Demikan pula dengan iklan partai Demokrat pada kampanye Pileg dan iklan pasangan SBY-Boediono pada kampanye Pilpres, dikesankan seolah-olah pemerintah SBY sebagai pemerintah bersih, dalam iklan ini divisualkan orang-orang partai Demokrat seperti Edi Baskoro (anak SBY), Anas Urbaningrum dan Angelina Sondakh yang menolak korupsi. Dirjen Pajakpun tak mau ketinggalan, membuat iklan "apa kata dunia" yang juga mengesankan aparat pajak seolah-olah kini sudah bersih dari suap dan korupsi.
Ternyata masih sangat lebar jurang antara pencitraan dan kenyataan sebenarnya, sejauh bumi dan langit, banyak yang hanya "omong doang". Memang sekedar pencitraan saja tanpa didukung fakta pada akhirnya akan terkuak juga dengan telanjang. Rakyat tidak membutuhkan sekedar pencitraan tapi benar-benar membutuhkan kejujuran yang sejujur-jujurnya dalam mengungkap kenyataan.
JK SEBAGAI MOTOR, BOEDIONO SEBAGAI REM
Setelah SBY cerai dengan JK dan masing-masing mencalonkan diri sebagai Capres, terkuak banyak fakta bahwa selama ini yang menjadi motor pembangunan, banyak menelurkan gagasan berikut implementasinya, banyak aktif berperan dalam pembangunan dan penyelesaian konflik ternyata adalah JK. Klaim ini juga tidak dibantah oleh kubu SBY, menandakan bahwa klaim JK tersebut memang benar. Klaim JK seakan menunjukkan bahwa SBY selama ini miskin gagasan dan juga miskin implementasi.
Pada debat Capres yang lalu, juga terkuak mengenai pembangunan pembangkit listrik yang digagas JK dan mendapat tantangan keras Boediono terkait masalah sumber pendanaan, disini bisa dikatakan bahwa Boediono adalah sebagai rem pembangunan, padahal pembangunan pembangkit tersebut sangat penting untuk mengantisipasi kebutuhan listrik di masa depan.
Dalam pemerintahan SBY-JK, JK sebagai motornya, lalu pada pemerintahan SBY-Boediono siapa motornya???motornya diganti dengan rem bernama Boediono...jadinya, pembangunan mungkin akan macet.
Pada debat Capres yang lalu, juga terkuak mengenai pembangunan pembangkit listrik yang digagas JK dan mendapat tantangan keras Boediono terkait masalah sumber pendanaan, disini bisa dikatakan bahwa Boediono adalah sebagai rem pembangunan, padahal pembangunan pembangkit tersebut sangat penting untuk mengantisipasi kebutuhan listrik di masa depan.
Dalam pemerintahan SBY-JK, JK sebagai motornya, lalu pada pemerintahan SBY-Boediono siapa motornya???motornya diganti dengan rem bernama Boediono...jadinya, pembangunan mungkin akan macet.
PAK SYUKUR VERSUS NEOLIB
Tulisan ini terinspirasi dari ketakberdayaan sebuah warung di suatu pemukiman di Jakarta yang akhirnya bangkrut dan tutup setelah sekian lama sekarat karena tergilas oleh menjamurnya pasar swalayan besar yang mengepung pemukiman dan pasar-pasar tradisional, hypermarket yang menawarkan kenyamanan, kelengkapan dan harga yang murah.
Dengan perasaan sangat sedih, seorang bapak tua berusia enam puluhan tahun akhirnya berketetapan hati untuk mengakhiri usaha warungnya walaupun tak jelas apa yang akan dia kerjakan setelahnya. Bapak tua yang biasa dipanggil Pak Syukur ini, memulai usaha warungnya sekitar dua puluh lima tahun yang lalu dengan modal seadanya. Momen penutupan warung ini baginya memang suatu momen yang sangat emosional karena warungnya meninggalkan begitu banyak kenangan bagi dirinya, kenangan suka dan duka, saat jatuh dan bangun, tak heran wajahnya terlihat memerah dan matanya berkaca-kaca, apalagi bercampur dengan perasaan putus asa akan masa depan nasib dirinya dan keluarganya.
Memang sejak berapa tahun lalu warung Pak Syukur terlihat sekarat -hidup segan mati tak mau. Barang yang dijual semakin lama semakin berkurang karena modalnya banyak yang terpakai untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya sehari-hari. Bermula ketika sebuah jaringan hypermarket raksasa milik Perancis, Carrefour, membuka hypermarket yang lokasinya sangat mudah dijangkau oleh warga di sekitar warung Pak Syukur, cukup dengan sekali naik angkot. Warga sekitar yang semula banyak berbelanja di warungnya menjadi berkurang drastis karena beralih ke hypermarket tersebut.
Keadaan ini sangat mengancam ekonomi keluarga Pak Syukur yang hanya menggantungkan hidup dari usaha warungnya. Keterpurukan ini berlanjut terus hingga tiba ajal warungnya, warungnya tutup. Kalau ditelusur lebih lanjut, akibat kesulitan ekonomi Pak Syukur mengakibatkan daya beli Pak Syukur dan keluarganya juga menurun, efek menurunnya daya beli Pak Syukur akhirnya juga berimbas ke pelaku ekonomi dan pedagang lainnya dimana Pak Syukur dan keluarganya biasa membelanjakan uangnya seperti pedagang sayur, pedagang pakaian dan sebagainya. Singkatnya, keterpurukan warung Pak Syukur juga mengakibatkan perlambatan perputaran uang. Bayangkan bila banyak Pak Syukur-Pak Syukur, pelaku usaha warung dan pelaku usaha lain yang mengalami hal serupa, terhambatnya perputaran uang juga semakin dahsyat, uang semakin sulit diperoleh rakyat kecil. Lalu kemana larinya uang atau modal yang biasa beredar di sekitar Pak Syukur? diantaranya lari ke Perancis, dan ke negara-negara lain, disedot pompa jet super penghisap rupiah bernama "Carrefour", "Hypermart", "Giants" dan sebagainya.
Pak Syukur dengan warungnya, hanya satu contoh dari sekian banyak korban neolib di Indonesia, negara yang sangat liberal, lebih liberal dan lebih kapitalis daripada di negara asalnya neolib. Di negara-negara maju yang terkenal liberal-kapitalis, pemerintahnya masih sangat memperhatikan pelaku ekonomi bermodal kecil semacam Pak Syukur, bahkan Carrefour di negeri asalnya sendiri, Perancis, dengan aturan sangat ketat tidak diperbolehkan buka di tengah kota karena bisa mengancam kelangsungan pelaku usaha retail skala kecil yang menjual produk-produk sejenis.
Sangat berbeda dengan di Perancis, di Indonesia -negara super liberal- di lokasi manapun Carrefour boleh buka, bebas sebebas-bebasnya, tanpa hambatan apapun, menghisap rupiah tanpa ampun, mematikan usaha rakyat semacam Pak Syukur, kemudian uangnya dilarikan ke luar negeri dengan menyisakan sedikit untuk upah pegawainya
Dengan perasaan sangat sedih, seorang bapak tua berusia enam puluhan tahun akhirnya berketetapan hati untuk mengakhiri usaha warungnya walaupun tak jelas apa yang akan dia kerjakan setelahnya. Bapak tua yang biasa dipanggil Pak Syukur ini, memulai usaha warungnya sekitar dua puluh lima tahun yang lalu dengan modal seadanya. Momen penutupan warung ini baginya memang suatu momen yang sangat emosional karena warungnya meninggalkan begitu banyak kenangan bagi dirinya, kenangan suka dan duka, saat jatuh dan bangun, tak heran wajahnya terlihat memerah dan matanya berkaca-kaca, apalagi bercampur dengan perasaan putus asa akan masa depan nasib dirinya dan keluarganya.
Memang sejak berapa tahun lalu warung Pak Syukur terlihat sekarat -hidup segan mati tak mau. Barang yang dijual semakin lama semakin berkurang karena modalnya banyak yang terpakai untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya sehari-hari. Bermula ketika sebuah jaringan hypermarket raksasa milik Perancis, Carrefour, membuka hypermarket yang lokasinya sangat mudah dijangkau oleh warga di sekitar warung Pak Syukur, cukup dengan sekali naik angkot. Warga sekitar yang semula banyak berbelanja di warungnya menjadi berkurang drastis karena beralih ke hypermarket tersebut.
Keadaan ini sangat mengancam ekonomi keluarga Pak Syukur yang hanya menggantungkan hidup dari usaha warungnya. Keterpurukan ini berlanjut terus hingga tiba ajal warungnya, warungnya tutup. Kalau ditelusur lebih lanjut, akibat kesulitan ekonomi Pak Syukur mengakibatkan daya beli Pak Syukur dan keluarganya juga menurun, efek menurunnya daya beli Pak Syukur akhirnya juga berimbas ke pelaku ekonomi dan pedagang lainnya dimana Pak Syukur dan keluarganya biasa membelanjakan uangnya seperti pedagang sayur, pedagang pakaian dan sebagainya. Singkatnya, keterpurukan warung Pak Syukur juga mengakibatkan perlambatan perputaran uang. Bayangkan bila banyak Pak Syukur-Pak Syukur, pelaku usaha warung dan pelaku usaha lain yang mengalami hal serupa, terhambatnya perputaran uang juga semakin dahsyat, uang semakin sulit diperoleh rakyat kecil. Lalu kemana larinya uang atau modal yang biasa beredar di sekitar Pak Syukur? diantaranya lari ke Perancis, dan ke negara-negara lain, disedot pompa jet super penghisap rupiah bernama "Carrefour", "Hypermart", "Giants" dan sebagainya.
Pak Syukur dengan warungnya, hanya satu contoh dari sekian banyak korban neolib di Indonesia, negara yang sangat liberal, lebih liberal dan lebih kapitalis daripada di negara asalnya neolib. Di negara-negara maju yang terkenal liberal-kapitalis, pemerintahnya masih sangat memperhatikan pelaku ekonomi bermodal kecil semacam Pak Syukur, bahkan Carrefour di negeri asalnya sendiri, Perancis, dengan aturan sangat ketat tidak diperbolehkan buka di tengah kota karena bisa mengancam kelangsungan pelaku usaha retail skala kecil yang menjual produk-produk sejenis.
Sangat berbeda dengan di Perancis, di Indonesia -negara super liberal- di lokasi manapun Carrefour boleh buka, bebas sebebas-bebasnya, tanpa hambatan apapun, menghisap rupiah tanpa ampun, mematikan usaha rakyat semacam Pak Syukur, kemudian uangnya dilarikan ke luar negeri dengan menyisakan sedikit untuk upah pegawainya
SANTUN MEMBAWA MALAPETAKA
Pernyataan Cawapres Prabowo bahwa perdagangan dunia seperti perang, benar-benar suatu fakta yang memang terjadi sejak dulu, sayangnya hal ini tidak disadari oleh pemimpin-pemimpin kita. Kalau sudah sadar dan berpandangan bahwa perdagangan dunia seperti perang, pemimpin-pemimpin kita harusnya menggunakan strategi perang dan kekuatan yang memadai untuk sukses dalam memperjuangkan kepentingan negara dalam perdagangan dunia tersebut, harus diperjuangkan sekuat tenaga hingga tetes darah terakhir. Jangan belum apa-apa, mengangkat senjatapun belum tetapi sudah mengibarkan bendera putih sambil tertunduk-tunduk dan membungkuk-bungkuk menyerah pada kepentingan asing.
Seperti layaknya di medan perang, "jenderal-jenderal" pemimpin negara-negara maju bersama lembaga-lembaga seperti IMF dan Bank Dunia lengkap dengan "pasukan"-nya menyerang dengan kekuatan penuh menggunakan segala cara mempengaruhi Presiden, menteri-menteri dan pejabat-pejabat Indonesia -yang memiliki pasar yang besar- untuk memaksakan kepentingannya, karena itu Presiden, menteri-menteri dan pejabat-pejabat harus benar-benar seorang yang super kuat menghadapi serangan dan bujukan pihak asing.
Dalam hal ini, SBY -yang dikenal sebagai pemimpin yang sangat santun, sangat lamban dan peragu dalam mengambil keputusan- bersama Boediono, Sri Mulyani, Marie Elka Pangestu, Hasan Wirayuda, Purnomo Yusgiantoro dsb. yang semuanya terkesan miskin rasa nasionalisme, terlalu santun, sangat bertenggang rasa, terlalu tunduk dan sangat lemah menghadapi pihak asing sangat-sangat tidak tepat mengisi posisi-posisi tersebut, mereka hanya akan menjadi bulan-bulanan pihak asing, tentunya sambil disanjung-sanjung setinggi langit oleh Amerika dan pihak asing lain sebagai "anak manis" dan menempati SBY sebagai 100 tokoh paling.berpengaruh dunia agar SBY dan orang-orang disekelilingnya hatinya berbunga-bunga (lihat: menyerah sebelum perang gaya SBY dibawah tulisan ini).
Kalahnya SBY, Boediono dkk menghadapi kepentingan asing sangat-sangat jelas, blok Cepu "dihibahkan" untuk AS, pasar bebas di Indonesia yang sangat bebas sebebas-bebasnya dengan aturan-aturannya yang sangat bebas sebebas-bebasnya melebihi negara kapitalis manapun yang paling liberal di muka bumi ini. Dalam keseharian kita, juga telah lama hadir banyak contoh kalahnya kita menghadapi asing, warung-warung dan pedagang tradisional kalah bersaing dengan raksasa Carrefour, Hypermart dan Giants, apel Malang, jeruk Pontianak dan produk buah-buahan lokal kalah produk buah-buahan impor, belakangan pemerintahan juga membebaskan pajak bea masuk impor susu sehingga berpotensi mengancam kelangsungan hidup peternak lokal.
Malapetaka sangat fatal ini sungguh pedih dialami rakyat, ekonomi rakyat hancur luluh lantak tidak berdaya bersaing diterjang hadirnya "tsunami" kepentingan ekonomi asing, mulai produk pertanian, retail hingga produk manufaktur asing, legal dan illegal berefek terjadinya kemiskinan berkelanjutan yang semakin parah. Malapetaka ini kemudian memunculkan bencana sosial yang sangat hebat dengan meledaknya angka pengangguran, bertambahnya jumlah pengemis, gelandangan, anak jalanan, pelacuran, narkoba dan melonjaknya angka kriminalitas. Belum lagi dengan masalah pendidikan, sebagian besar anak-anak bangsa semakin jauh dari gizi yang memadai untuk kecerdasannya dan semakin jauh dari pendidikan yang bermutu, sebagian anak-anak dan balita bahkan mengalami busung lapar akibat gizi buruk.
Tentunya pihak AS & asing yang selama ini memaksakan kepentingannya di Indonesia sangat-sangat senang bila Indonesia masih dalam jajahannya, tetap menjadi negara Super Liberal seperti sekarang, setidaknya hingga lima tahun kedepan bila SBY-Budiono terpilih kembali...Lanjutkan!???
Seperti layaknya di medan perang, "jenderal-jenderal" pemimpin negara-negara maju bersama lembaga-lembaga seperti IMF dan Bank Dunia lengkap dengan "pasukan"-nya menyerang dengan kekuatan penuh menggunakan segala cara mempengaruhi Presiden, menteri-menteri dan pejabat-pejabat Indonesia -yang memiliki pasar yang besar- untuk memaksakan kepentingannya, karena itu Presiden, menteri-menteri dan pejabat-pejabat harus benar-benar seorang yang super kuat menghadapi serangan dan bujukan pihak asing.
Dalam hal ini, SBY -yang dikenal sebagai pemimpin yang sangat santun, sangat lamban dan peragu dalam mengambil keputusan- bersama Boediono, Sri Mulyani, Marie Elka Pangestu, Hasan Wirayuda, Purnomo Yusgiantoro dsb. yang semuanya terkesan miskin rasa nasionalisme, terlalu santun, sangat bertenggang rasa, terlalu tunduk dan sangat lemah menghadapi pihak asing sangat-sangat tidak tepat mengisi posisi-posisi tersebut, mereka hanya akan menjadi bulan-bulanan pihak asing, tentunya sambil disanjung-sanjung setinggi langit oleh Amerika dan pihak asing lain sebagai "anak manis" dan menempati SBY sebagai 100 tokoh paling.berpengaruh dunia agar SBY dan orang-orang disekelilingnya hatinya berbunga-bunga (lihat: menyerah sebelum perang gaya SBY dibawah tulisan ini).
Kalahnya SBY, Boediono dkk menghadapi kepentingan asing sangat-sangat jelas, blok Cepu "dihibahkan" untuk AS, pasar bebas di Indonesia yang sangat bebas sebebas-bebasnya dengan aturan-aturannya yang sangat bebas sebebas-bebasnya melebihi negara kapitalis manapun yang paling liberal di muka bumi ini. Dalam keseharian kita, juga telah lama hadir banyak contoh kalahnya kita menghadapi asing, warung-warung dan pedagang tradisional kalah bersaing dengan raksasa Carrefour, Hypermart dan Giants, apel Malang, jeruk Pontianak dan produk buah-buahan lokal kalah produk buah-buahan impor, belakangan pemerintahan juga membebaskan pajak bea masuk impor susu sehingga berpotensi mengancam kelangsungan hidup peternak lokal.
Malapetaka sangat fatal ini sungguh pedih dialami rakyat, ekonomi rakyat hancur luluh lantak tidak berdaya bersaing diterjang hadirnya "tsunami" kepentingan ekonomi asing, mulai produk pertanian, retail hingga produk manufaktur asing, legal dan illegal berefek terjadinya kemiskinan berkelanjutan yang semakin parah. Malapetaka ini kemudian memunculkan bencana sosial yang sangat hebat dengan meledaknya angka pengangguran, bertambahnya jumlah pengemis, gelandangan, anak jalanan, pelacuran, narkoba dan melonjaknya angka kriminalitas. Belum lagi dengan masalah pendidikan, sebagian besar anak-anak bangsa semakin jauh dari gizi yang memadai untuk kecerdasannya dan semakin jauh dari pendidikan yang bermutu, sebagian anak-anak dan balita bahkan mengalami busung lapar akibat gizi buruk.
Tentunya pihak AS & asing yang selama ini memaksakan kepentingannya di Indonesia sangat-sangat senang bila Indonesia masih dalam jajahannya, tetap menjadi negara Super Liberal seperti sekarang, setidaknya hingga lima tahun kedepan bila SBY-Budiono terpilih kembali...Lanjutkan!???
MENYERAH SEBELUM PERANG GAYA SBY
Contoh nyata menyerah sebelum perang gaya SBY dkk adalah ketika ditetapkannya join produksi ExxonMobil bersama Pertamina untuk produksi di blok Cepu, penetapan ini sungguh sangat menyakitkan rakyat. Sikap menyerah SBY dkk sangat kental karena penetapan ini dilakukan beberapa saat sebelum kedatangan juragan-nya SBY, menlu AS ketika itu, Condoleeza Rice ke Jakarta, hal ini dilakukan SBY dan anak buahnya agar ketika juragan datang tidak ada lagi masalah yang mengganjal, agar juragan senang.
Disini sangat-sangat jelas betapa SBY dkk terlalu tunduk kepada kepentingan pihak asing khususnya AS, padahal bila hanya diberikan kepada Pertamina, Pertamina sangat mampu melakukannya sendiri tanpa ExxonMobil.
Dari join produksi yang sesat ini, kemudian mencuat kasus Floating Storage. Negara berpotensi mengalami kerugian sangat hebat akibat pihak ExxonMobil sangat boros, antara lain untuk proyek Floating Storage ini yang seharusnya tidak diperlukan mengapung di laut tapi cukup di darat dengan biaya jauh lebih murah.
Yang lebih membuat sangat-sangat kesal, menurut Hestu Bagyo (mantan Dirut Pertamina EP Cepu) ternyata tidak ada equal treatment dalam join produksi ini, ExxonMobil dan Pertamina bukan sebagai mitra tapi seperti atasan-bawahan dimana Pertamina sebagai bawahan Exxon, semuanya diatur oleh Exxon, tentunya ini sangat merugikan dan membuat kita sangat terhina.
Disini sangat-sangat jelas betapa SBY dkk terlalu tunduk kepada kepentingan pihak asing khususnya AS, padahal bila hanya diberikan kepada Pertamina, Pertamina sangat mampu melakukannya sendiri tanpa ExxonMobil.
Dari join produksi yang sesat ini, kemudian mencuat kasus Floating Storage. Negara berpotensi mengalami kerugian sangat hebat akibat pihak ExxonMobil sangat boros, antara lain untuk proyek Floating Storage ini yang seharusnya tidak diperlukan mengapung di laut tapi cukup di darat dengan biaya jauh lebih murah.
Yang lebih membuat sangat-sangat kesal, menurut Hestu Bagyo (mantan Dirut Pertamina EP Cepu) ternyata tidak ada equal treatment dalam join produksi ini, ExxonMobil dan Pertamina bukan sebagai mitra tapi seperti atasan-bawahan dimana Pertamina sebagai bawahan Exxon, semuanya diatur oleh Exxon, tentunya ini sangat merugikan dan membuat kita sangat terhina.
Langganan:
Postingan (Atom)